*Relakanlah
perpisahan kita ini
Iringailah pemergian
daku nanti
Dengan doa yang tidak
berhenti
Moga Islam terus
berdiri
Usapilah genang
airmata kasih
Senyumanmu penguat
semangat daku
Andai kita tak jumpa
lagi
Ku semai cintamu di syurga
Bepisahlah dua jiwa
Meninggalkan kuntum
cinta
Mekar di istama taqwa
Menyahut panggilan
Allah
Dengan nama Mu Allah
yang Maha Gagah
Langkah ku atur
pasrah daku berserah
Seluruh pasukan islam di
Madinah telah dipersiapkan untuk menghadapi bombardir serangan dari kaum kuffar
di bukit Uhud. Hembusan angin panas membara membakar jiwanya. Jihad telah
mendarah daging baginya. Hasrat dirinya yang haus untuk berjuang, tidak ada
alasan baginya untuk meninggalkan barang sejurus seruan kemenangan atau syahid
ini. Hari itu, ia menikah dengan Jamilah binti Ubay, sepupunya sendiri.
Adalah ia, Hanzalah bin Abi
Amir, seorang sahabat yang sudah masyhur dalam sirah para sahabat. Sebab
perkawinannya yang berlangsung malam itu jualah, Rasulullah menangguhkan saja
ia sebagai cadangan, agar ia menyusul keesokan paginya. Namun ia tetap
bersikeras agar Rasulullah mengizinkannya untuk turut serta dalam peperangan
itu. Tapi Rasulullah tetap untuk mencadangkannya sampai pagi besok. Akhirnya,
ia berpikir bahwa nasihat Rasulullah itu ada baiknya, ia pun menurutinya dan
bermalam bersama istrinya.
Malam di kota Madinah, ia
pun menikmati manisnya keindahan gemerlap bintang-bintang di sana bersama
bidadari yang telah mendampingi di sisinya kini. Ia berbaur dalam nuansa sejuk
serta damai itu. Malam di mana seharusnya sepasang pengantin saling memadukan
rindu yang telah lama dinanti.
Manakala ia melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang suami, genderang perang membahana bertubi-tubi.
Sebuah panggilan untuk memperjuangkan islam saat itu. Lantas saja, Hanzalah
bangkit dari peraduannya dan sigap mengenakan perlengkapan perangnya. Betapa
tak sakit hati seorang istri, di malam pengantin ia ditinggalkan untuk
berperang yang mereka pun tak tahu, apakah Hanzalah akan kembali.
“Janganlah kau bersedih,
do’akan saya kembali membawa kemenangan.”
Jamilah pun hanya tertunduk,
melambangkan kebimbangan hatinya. Hanzalah dengan gagahnya turun ke medan
perang bersama kudanya.
Ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, Hanzalah memamerkan daya juang
yang sangat menggerunkan musuh dengan membunuh para musuh di kalangan anggota
tentara Quraisy sehingga membuka jalan kepada Beliau yang akhirnya membawa Beliau berhadapan dengan Abu
Suffian bin Harb, ketua panglima perang Quraisy.
Hanzalah, nyaris berhasil membunuh Abu Suffian tetapi Allah lebih memilih
beliau untuk syahid. Ketika Hanzalah hendak menebaskan pedangnya ke Abu
Suffian, Abu Suffian berteriak dan hal itu menarik perhatian kawanan perangnya. Dengan sigap para tentara itupun mengepung Hanzalah
dan memekiknya dengan kuat sehingga ia pun wafat oleh salah seorang pengikut Abu Suffian, Syaddah bin
Al Aswad.
Akhirnya, peperangan pun
berakhir. Para sahabat sibuk mengumpulkan pasukan yang cidera dan yang gugur
dalam peperangan yang diikuti oleh seribu tentara muslim berhadapan dengan tiga
ribu kafir Quraisy itu. Namun, para sahabat kebingungan, mereka tiada menemukan
jenazah Hanzalah. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat gundukan tanah,
yang ternyata di sana ada Hanzalah. Tubuhnya basah, air mengucur segar dari
kepalanya. Ada apa ini? Para sahabat bertanya-tanya, jelas saja karena waktu
itu siang begitu teriknya, sedangkan wajah Hanzalah begitu berseri dan nampak
tenang.
Rasulullah berkata, “Saya terlihat antara langit dan bumi,
para malaikat memandikan mayat Hanzalah dengan air daripada awan yang diisikan
ke dalam bekas perak.” Hanzalah teristimewa dimandikan oleh malaikat sebab
ketika ia meluncur menuju peperangan ia tak sempat mandi junub. Akhirnya, ia
pun syahid, dan namanya tercatat dalam histori islam sebagai sahabat yang
paling tegas dalam jalan jihad ini.
*Rabbani – Hanzalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar